Di tengah pembicaraan tentang koalisi besar untuk pemilu Indonesia 2024, para analis mengatakan kemenangan tidak dijamin
TANDA KOALISI BESAR DALAM BEKERJA
Pada tanggal 2 April, Bapak Widodo bertemu dengan ketua KIB dan KKIR di Jakarta. Yang sangat absen dari pertemuan tersebut adalah Ibu Soekarnoputri, ketua PDI-P tempat Bapak Widodo berada.
Tuan Surya Paloh, ketua partai parlemen terbesar keempat, Nasdem, juga tidak hadir. Sementara Nasdem berada dalam koalisi yang berkuasa saat ini, dia telah mendukung Baswedan, mantan gubernur Jakarta, sebagai calon presidennya dan telah bersekutu dengan Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Partai Demokrat dan PKS adalah partai oposisi dan langkah Nasdem untuk mencalonkan Baswedan sebagai calon presiden mereka secara luas dilihat sebagai keputusan yang tidak didukung oleh Jokowi.
Pertemuan antara KIB, KKIR, dan Jokowi, sapaan akrab presiden, terjadi hanya beberapa hari setelah sepak bola. Badan pengatur FIFA telah mencabut hak Indonesia untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia U20 tahun ini.
Keputusan itu muncul setelah beberapa protes, termasuk dari dua gubernur PDI-P, yaitu Pranowo dan Gubernur Bali I Wayan Koster, yang tidak ingin Israel menghadiri acara tersebut. Mereka berpendapat bahwa Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel karena mendukung Palestina.
Kegagalan menjadi tuan rumah turnamen banyak ditudingkan pada PDI Perjuangan dan Jokowi terang-terangan mengungkapkan kekecewaannya karena tidak bisa menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20. Pengamat politik mengatakan pada saat itu bahwa episode tersebut mungkin telah merenggangkan hubungan antara pemimpin Indonesia dan orang lain di partainya.
Usai pertemuan, Pak Subianto dari Gerindra menyampaikan bahwa partai-partai di koalisi KIB maupun di KKIR memiliki visi yang sama. Ia menambahkan, mereka mendukung Jokowi.
“Ya, kami memiliki (visi yang sama). Ternyata kita ada kecocokan, jadi kita merasa satu frekuensi,” kata Pak Subianto.
Saat ditanya wartawan apakah KIB dan KKIR cocok dalam hal kerja sama, Jokowi menjawab, “Saya hanya mengatakan cocok. Terserah pimpinan partai atau aliansi partai.”
“Demi kebaikan negara, kebaikan bangsa, kebaikan rakyat, akan lebih baik jika hal-hal itu bisa didiskusikan,” ujarnya.
Ilmuwan politik Ray Rangkuti dari think tank Lingkar Madani yang berbasis di Jakarta percaya bahwa mungkin ada upaya untuk membentuk koalisi besar.
“Saya kira ada upaya untuk membentuk koalisi besar. Tapi itu tidak mudah, tentu saja, dan perkembangan berubah dari hari ke hari, minggu ke minggu.
“Tapi belum ada kepastian itu (proses politik) akan lancar, meski sepertinya ada upaya untuk ke sana. Karena yang penting siapa yang jadi presiden dan wakil presiden,” kata Pak Rangkuti.
Dia mencontohkan, koalisi besar berarti memiliki mesin kampanye yang lebih besar untuk meraih suara, namun hanya bisa efektif jika ada calon presiden yang tepat.
“Memiliki koalisi besar tetapi tidak memiliki figur yang tepat tidak menjamin kemenangan,” kata Rangkuti.
About The Author
“Penjelajah. Pembaca. Praktisi perjalanan ekstrem. Gila sosial total.”